Gesekan pasir gurun, gemuruh perjalanan melintasi pegunungan yang terjal, dan keberanian menghadapi ancaman para penjahat, semua elemen ini membentuk kisah epik perjalanan haji dan umrah dizaman pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman Empire). Dalam artikel ini, kita akan mengulas petualangan, keindahan alam, keragaman budaya, serta dimensi keagamaan dari pengalaman haji dan umrah pada masa tersebut.
Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) merupakan kekuasaan yang dominan di dunia Islam. Di bawah pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah, perjalanan haji dan umrah bagi masyarakat Muslim di wilayah kekuasaannya menjadi lebih teratur dan terorganisir.
Kesultanan Utsmaniyah menjalankan sistem administratif yang disebut dengan "Dewan Haji" untuk mengatur dan mengawasi perjalanan haji. Dewan Haji bertanggung jawab atas berbagai aspek pelaksanaan haji, termasuk pendaftaran jamaah haji, pengaturan transportasi, dan pengawasan fasilitas di Tanah Suci.
Pada saat itu, para jamaah haji dan umrah dari wilayah Kesultanan Utsmaniyah biasanya melakukan perjalanan darat menuju Mekah. Rute perjalanan haji dari wilayah seperti Anatolia (sekarang Turki), Suriah, dan Mesir sering kali melewati Yerusalem dan Madinah, sebelum mencapai Mekah. Para jamaah haji dan umrah menggunakan kafilah (caravan/kervan) yang dipimpin oleh pemimpin kafilah yang berpengalaman.
Kafilah-kafilah ini menyediakan akomodasi, makanan, dan perlindungan dalam perjalanan. Para jamaah haji juga mendapatkan perlindungan dari pasukan Kesultanan Utsmaniyah yang menjaga keamanan di sepanjang rute perjalanan.
Selain itu, Kesultanan Utsmaniyah juga membangun infrastruktur yang memadai di Tanah Suci untuk memfasilitasi perjalanan jamaah haji dan umrah. Mereka memperbaiki dan membangun kembali jalan-jalan, membangun stasiun istirahat, kervansaray (penginapan kafilah), masjid di sepanjang rute perjalanan dan juga memperluas serta memperbaiki fasilitas akomodasi di Mekah dan Madinah, belum cukup sampai disitu mereka juga mengatur distribusi air dan pasokan makanan di sepanjang rute perjalanan.
Namun, meskipun upaya yang dilakukan oleh Kesultanan Utsmaniyah untuk memfasilitasi perjalanan haji dan umrah, masih ada berbagai tantangan yang dihadapi oleh para jamaah haji, seperti kesulitan perjalanan jarak jauh, risiko penyakit, dan ancaman keamanan. Kesultanan Utsmaniyah berusaha untuk meminimalkan risiko dan memastikan perjalanan haji berjalan dengan lancar bagi jamaah haji di bawah kekuasaannya.
Sebelum abad ke-20 perjalanan haji dan umrah bagi umat Islam di Indonesia juga masih sangat terbatas dan sulit dilakukan. Pada saat itu, Indonesia masih berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, yang memberlakukan berbagai pembatasan terhadap perjalanan ke Tanah Suci.
Pada masa tersebut perjalanan haji dari Indonesia ke Mekah umumnya dilakukan melalui kapal layar. Para jamaah haji harus menempuh perjalanan laut yang panjang dan melelahkan untuk mencapai Jeddah, Saudi Arabia. Perjalanan ini bisa memakan waktu berbulan-bulan dan tidak jarang diwarnai dengan kesulitan dan bahaya di tengah perjalanan.
Selain itu, Belanda memberlakukan peraturan yang ketat terkait perjalanan haji. Mereka mengontrol akses ke pelabuhan dan memberlakukan berbagai persyaratan administratif serta pembayaran pajak yang tinggi. Semua ini membuat perjalanan haji menjadi sulit diakses oleh banyak umat Islam Indonesia pada saat itu.
Pada abad ke-19, beberapa ulama dan tokoh masyarakat Indonesia berusaha untuk memfasilitasi perjalanan haji. Mereka membentuk perkumpulan atau lembaga yang bertujuan untuk membantu dan mengkoordinasikan perjalanan haji. Salah satu contohnya adalah Pengurus Haji Indonesia yang didirikan pada tahun 1860.
Meskipun sulit, ada beberapa individu yang berhasil melakukan perjalanan haji pada masa tersebut. Namun, jumlah mereka masih terbatas dan tidak sebanding dengan jumlah umat Islam di Indonesia pada saat itu. Perjalanan haji dan umrah menjadi lebih mudah diakses bagi umat Islam Indonesia setelah kemerdekaan dari penjajahan Belanda pada tahun 1945.
Mencapai Mekah adalah puncak dari perjalanan umat islam untuk para peziarah. Mereka melakukan persiapan ibadah yang mendalam, merenungkan makna umrah, dan mempersiapkan diri untuk berdoa di depan Ka'bah Al-Mu’azzamah. Tiba di Masjidil Haram, pusat kiblatnya seluruh umat Islam, para peziarah merasa terharu oleh kerumunan umat Muslim dari seluruh dunia yang berkumpul di sana. Bagi banyak dari mereka, momen ini memenuhi hati dengan kedamaian beserta rasa syukur dan ta’zhim yang mendalam kepada Allah SWT. Masjidil Haram juga merupakan salah satu dari tiga masjid yang diperintahkan Rasulullah ﷺ kepada ummatnya untuk dikunjungi.
Dalam sebuah hadits Beliau bersabda: “Janganlah kalian bersusah payah dalam bepergian kecuali menuju tiga masjid; Al Masjidil Haram, Al Masjidil Aqsa dan Masjidku ini (Masjid Nabawi).”
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ amat menganjurkan ummatnya untuk mengunjungi ketiga masjid ini, dan Masjidil Haram adalah masjid peringkat pertama yang perlu dikunjungi oleh setiap Muslim.
Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah R.A Bahwasanya Rasulullah ﷺ Bersabda: "Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya, kecuali di Masjidil Haram. Dan shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 salat di masjid lainnya," (HR Ibnu Majah dan Ahmad)
Upaya yang dilakukan Sultan Abdulhamid dimasa Akhir Kesultanan Utsmaniyah
Pada Abad ke 19-20 awal, program pembangunan dimulai di kota suci, dengan rumah sakit, barak, dan prasarana yang dibangun di Hijaz untuk membantu pelaksanaan ibadah haji. Kabah itu sendiri dan Masjid al-Haram yang mengelilinginya juga direnovasi dengan sistem drainase modern yang membantu mengurangi kebanjiran.
Sultan Abdul Hamid Han memulai pembangunan lintasan kereta api Hejaz. Ia memulainya di Istanbul dan melakukan perjalanan melalui Suriah, Palestina, dan gurun Arab, berakhir di Madinah. Tujuan dari lintasan jalan kereta api ini untuk lebih mudah dalam menghubungkan tempat-tempat suci Islam.
Untuk menunjukkan penekanan pada perlindungan Makkah dan Madinah,Sultan Abdul Hamid memutuskan bahwa ukuran (lebar rel) dari Hejaz Railway harus sedikit lebih kecil daripada standar di Eropa. Alasannya adalah bahwa jika Istanbul jatuh ke imperialis Eropa, ia ingin memastikan Eropa tidak akan bisa menggunakan Hejaz Railway untuk menyerang Makkah dan Madinah.
Berikut adalah Tour 3D gambaran dari keadaan Baitullah Pada Masa Kepemimpinan Sultan Abdulhamid Han Pada Tahun 1880 :
Kesimpulan
Meskipun pengalaman haji dan umrah sekarang jauh berbeda dari zaman dulu, kita tidak boleh melupakan akar sejarah perjalanan umrah yang kaya makna ini. Kisah-kisah perjalanan haji dan umrah pada masa tersebut adalah bagian integral dari sejarah Islam dan warisan budaya leluhur kita. Melalui petualangan, keindahan, keragaman budaya, dimensi keagamaan, serta perjuangan mereka dalam memberikan fasilitas terbaik pada masa tersebut, kita dapat melihat bagaimana pengalaman haji dan umrah telah berkembang dari masa ke masa.
Referensi:
- Majalah Yedikıta ke-144 (Agustus 2020)
- Hasan, A. F. (2010). Ottoman Pilgrimage to Mecca: Travelogues from the Ottoman Lands. Edinburgh University Press.
- Smith, J. D. (2005). Ottoman Urbanization and the Development of the Makkah-Damascus Caravan Route. International Journal of Middle East Studies, 37(1), 39-56.
Info lebih lanjut hubungi:
Penulis: Abi Ahmad Muzakki Fadhilah Al Madani
Judul: Haji dan Umrah Pada Zaman Kesultanan Utsmaniyah
Asrama: Sulaimaniyah Nurul Huda Pati Jateng
Comments